Wednesday, June 25, 2008

Cinta Yang Tak Rumit Dari Faiz

Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat
bertemu seseorang? Kebanyakan kita menyapa karena kita
mengenal atau minimal mengetahui seseorang itu. Bisa juga
karena kita menyukai atau menghormati orang tersebut,
karena memang kebiasaan, atau punya keperluan. Mungkin
juga sekadar basa basi. Apa pun itu, saya belajar banyak
soal ini dari seorang anak kecil yang berbeda umur 26
tahun dari saya.

Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak
begitu jauh dari rumah, Faiz akan melewati deretan panjang
rumah yang ada di sekitar kami. Empat tahun yang lalu,
ketika Faiz masih TK, saya takjub menyaksikan bagaimana
cara ia menyapa! Semua tetangga yang kebetulan dilewati
atau ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran
ramah disertai senyum lebar Faiz.

"Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu...."

"Assalaamu'alaikum...."

"Mari Oma, mari Opa..."

"Dari mana, Tante?"

"Wah hari ini Kakak berseri sekali!"

"Mau kuliah, Bang?"

"Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"

Dan seterusnya....

Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada
Faiz," Mas Faiz,apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak
orang setiap pagi?"

Faiz tertawa. "Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum
dan sapaku mungkin bukan mengawali pagiku saja. Tapi
mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum itu kan sedekah, Bunda."

Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu
itu belum berumur delapan tahun. "Subhanallah. Kalau
dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin sudah milyaran,"
ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.

Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu
sekitar rumah, mereka kerap membicarakan Faiz.

"Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya
selalu menegur lebih dulu, senyumnya manis sekali."

"Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya?"

Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya
tak pernah mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan
tersenyum. Sayalah yang banyak belajar dari Faiz!

Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai
duduk di bangku SD.

Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu
dipanggilnya, diajak makan dan minum. "Hari ini di rumah masak
sop dan perkedel." Atau "Bapak mau bawa kopi untuk di jalan
biar tidak mengantuk?

Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil
celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk
diberikan pada mereka.

Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat
pun disuruh mampir. Ada saja yang ditawarkannya. "Istirahat
dulu di sini, Pak. Kan capek. Hari panas sekali. Sini, makan
kue dan minum dulu. Atau mau makan nasi?" Selain itu ia pun
akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk membeli
sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu
membutuhkannya. "Apa salahnya sih menolong orang?" ujarnya.

Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari di
mana kami memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-
tamu istimewa yang entah siapa. Faiz mengundang mereka secara
tak terduga.

"Ikhlas yaaa, Bunda...," katanya sambil tersenyum manis.
Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan
terbata Saya hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat.

(Helvy Tiana Rosa)

Link

No comments: